Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) periode 2025-2034 telah diresmikan oleh Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, pada hari Jumat, 26 Mei 2025. Dari perencanaan ketenagalistrikan ini, diharapkan akan ada penambahan kapasitas sebesar 69,5 Gigawatt (GW).
Dijelaskan oleh Bahlil, dari total 69,5 GW tersebut, 76% akan berasal dari Energi Baru Terbarukan (EBT). Komposisi pembangkit EBT sendiri mencapai 42,6 GW, dihasilkan dari sumber daya seperti tenaga surya, air, angin, panas bumi, bioenergi, hingga nuklir.
Selanjutnya, sekitar 10,3 GW akan disumbangkan oleh storage, dengan komposisi utama berupa baterai dan PLTA Pumped Storage. Sementara itu, energi fosil akan menyumbang sekitar 16,6 GW, yang berasal dari pembangkit listrik tenaga gas dan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara.
“Kemudian, untuk energi fosil, kita masih memiliki gas sebesar 10,3 GW dan batu bara 6,3 GW. Menurut saya, gas ini sudah tidak sepenuhnya termasuk fosil, bisa dibilang setengahnya. Dan batu bara 6,3 GW. Bahkan di Eropa pun masih ada yang menggunakan batu bara, di Turki juga masih banyak. Kita saja yang terlalu modern,” ujarnya.
Bahlil menegaskan bahwa penambahan kapasitas energi listrik dari batu bara bukanlah masalah selama masih diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Apakah batu bara lantas menjadi momok yang menakutkan?
“Jadi, jangan sampai ada persepsi bahwa batu bara itu haram. Jangan dibeda-bedakan antara batu bara dengan yang lain. Jadi, penambahan pun tidak masalah, asalkan negara memang membutuhkannya,” tegasnya.
Bahlil menambahkan, saat ini sudah tersedia teknologi Carbon Capture and Storage (CCS) yang memungkinkan penangkapan emisi karbon dari pembangkit batu bara maupun industri, untuk kemudian disimpan atau dimanfaatkan. Ini adalah langkah maju dalam menekan dampak lingkungan.
Ia menjelaskan, dengan penerapan CCS, emisi dari pembakaran batu bara dapat ditekan secara signifikan, sehingga menghasilkan apa yang disebut sebagai batu bara bersih. Sebuah solusi inovatif untuk tantangan energi.
“Dan sekarang, batu bara itu ada alat penangkap carbon capture untuk menurunkan emisi. Ke depannya, dengan perkembangan teknologi, akan ada yang namanya batu bara bersih. Jadi, kita jangan mau diadu-adu. Jangan sampai barang kita seolah-olah kotor, supaya kita impor barang bersih yang mahal,” pungkasnya.